Minggu, 17 Oktober 2010

PERANG: BOLEHKAH?

Ev. Chelcent Fuad

Untuk apakah perang? Filsuf ternama, Aristoteles, pernah menulis, “We make war that we may live in peace.” Menurutnya, perdamaian tidak selalu dapat dicapai dengan usaha damai. Perang, dalam berbagai kasus, adalah salah satu alat perdamaian! Tentu tidak semua orang setuju dengan Aristoteles. Sebut saja John. F. Kennedy yang anti-perang. Kennedy meramalkan kehancuran umat manusia bila manusia tidak mengakhiri hobi manusia berperang. Perang bahkan dituding oleh Paus Yohanes XXIII sebagai kejahatan yang tidak sesuai dengan gaya hidup kekristenan. Ia memperingatkan, “For the Christian who believes in Jesus and his gospel, war is an iniquity and a contradiction.”

Telah sejak lama gereja terganggu oleh pertanyaan mengenai perang. Benarkah perang, dalam kasus-kasus tertentu, harus dilakukan untuk menggapai perdamaian? Apakah peperangan selalu berakhir tragis dan destruktif terhadap kemashalatan umat manusia? Apakah perang dan kehidupan Kristen adalah inkompatibel dan kontradiktif? Dapatkah seorang tetap menjadi Kristen dan melayani negara sebagai prajurit? Bagaimanakah kekristenan sepanjang sejarah bersikap terhadap perang? Lantas, bagaimanakah ajaran Alkitab, khususnya pandangan Tuhan Yesus, terhadap perang? Berikut ini dipaparkan secara ringkas dua pandangan utama perihal sikap kekristenan terhadap perang, yakni pasifisme dan just war theory, dan bagaimana kita menyikapi kedua pandangan tersebut.

PASIFISME: ANTI-KEKERASAN

Pasifisme adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Seorang Kristen harus selalu menentang perang dalam kondisi apapun. Posisi ini berangkat dari kesadaran akan adanya pertentangan antara konsep perang dalam Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Di dalam Keluaran 20, TUHAN mengatur suatu hukum perang yang berisi kekerasan tingkat tinggi, yakni ”haruslah engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata pedang” (Ul. 20:13). Hal yang kontras diajarkan oleh Tuhan Yesus dalam Khotbah di Bukit: ”Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:43-44). Tuhan Yesus juga memberkati orang-orang yang membawa damai (Mat. 5:9) dan memerintahkan murid-Nya untuk memasukkan ”pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat. 26:52). Tuhan Yesus sendiri telah menjadi teladan agung seorang pasifis yang rela menerima kejahatan manusia tanpa membalas.

Atas dasar PB, para penganjur pasifisme merasa bahwa hukum perang di PL yang sarat kekerasan telah dianulir oleh hukum kasih yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Tertulianus, seorang bapa gereja abad ketiga, mengatakan bahwa pengajaran Kristus dalam Khotbah di Bukit bila dibandingkan dengan hukum di PL merupakan penyingkapan maksud Allah yang sebenarnya, yaitu bahwa pembalasan adalah hak Allah. Richard B. Hays yang membela pasifisme menegaskan bahwa jika ada prinsip moral PL yang bertentangan dengan PB, maka prinsip moral di PB bersifat normatif dan melampaui hukum moral di PL. Intinya, karena PB mengajarkan prinsip anti-kekerasan, maka perang tidak diperkenankan sama sekali walaupun pernah diizinkan dalam PL.

Pada praktiknya, pasifisme tidak hanya satu jenis. Ada beberapa varian Pasifisme yakni: (1) Pasifisme Universal yang menganggap semua kekerasan dan pembunuhan dalam kasus apapun, baik secara personal, nasional, maupun internasional, adalah kesalahan yang tidak dapat ditolerir. (2) Pasifisme Kristen yang membedakan antara orang Kristen dan non-Kristen. Menurut kelompok ini, orang Kristen tidak diperbolehkan melakukan kekerasaan apapun, namun orang non-Kristen dapat melakukannya dalam kasus tertentu. (3) Pasifisme Pribadi menolak kekerasan atas nama pribadi namun menyetujui perang atas perintah negara yang berlandaskan alasan-alasan tertentu. (4) Pasifisme Anti-Perang yang menolak perang jenis apapun namun mengizinkan kekerasan pribadi demi mempertahankan hak-haknya.

Bagi penentang pasifisme, posisi pasifis mengandung bahaya. Sikap anti-kekerasan seorang Kristen pasifis, khususnya varian (1), (2), dan (3), yang bertolak belakang dengan dunia yang penuh kekerasan akan menempatkannya dalam situasi tidak mengenakkan. Orang Kristen tidak boleh menggunakan kekerasan untuk membela diri maupun orang lain sehingga ini tidak ada bedanya dengan bunuh diri. Namun penganut teori pasifisme punya jawaban yang bagus untuk menjawab kekuatiran ini. Hays menulis bahwa walaupun posisi ini berbahaya, namun orang Kristen perlu mengambil posisi pasifis karena ini merupakan tindakan ketaatan terhadap Allah yang juga telah mengizinkan Anak-Nya untuk mati di atas kayu salib. Ia percaya bahwa ketika kita memilih untuk taat kepada Allah, maka kita dapat berharap rencana Allah yang penuh kasih, yang dinyatakan lewat pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib, kendati kita belum mampu melihatnya..

JUST WAR THEORY: TEORI PERANG SUCI

Just war theory adalah pandangan yang percaya ada perang atau penggunaan kekerasan yang dibenarkan demi alasan kemanusiaan. Alasannya, walaupun kasih adalah karakter utama orang Kristen, namun pelaksanaan kasih di dalam dunia yang telah rusak ini tidak dapat dilepaskan dari aspek keadilan yang adakalanya mengandung kekerasan. Penganjur ajaran just war theory setuju bahwa semua perang adalah jahat. Oleh sebab itu, mereka tidak mencoba membenarkan perang, tapi memberikan prinsip-prinsip yang membawa perang itu tidak terlalu jauh melampaui batas-batas keadilan sehingga dapat mengurangi kekerasan yang lebih lanjut.

Adalah Agustinus, seorang bapa gereja abad keempat, yang dianggap sebagai pencetus just war theory. Pada masa itu, kekaisaran Romawi menuduh orang Kristen bertanggungjawab atas melemahnya kekuatan militer negara akibat doktrin kekristenan yang menekankan kasih, kerendahan hati, dan kesabaran terhadap musuh. Demi mendengar tuduhan tersebut, Agustinus menulis sebuah buku terkenal bertajuk City of God yang isinya menjelaskan bahwa kekristenan tidak meniadakan patriotisme, melainkan mengangkat semangat itu hingga pada level ketaatan iman. Menurutnya, perang di dalam PL menunjukkan bahwa Allah memakai perang tertentu untuk membalas kejahatan banga-bangsa tertentu, termasuk Israel. Alih-alih dicap sebagai kejahatan, perang demikian malah dianggap sebagai tindakan kasih (an act of love) karena mencegah dosa yang lebih besar. Kasih tidak selalu bertentangan dengan penggunaan kekerasan, demikian pikir Agustinus. Lagipula, di dalam PB tidak pernah ada perintah untuk meninggalkan profesi keprajuritan yang sarat kekerasan, bahkan beberapa profesi menyinggung profesi prajurit (mis. Luk. 3:14-15; Mat. 8:5-13; Kis. 10:1-11:18). Teolog besar lain yang mendukung teori ini adalah dua bapa reformator gereja, yaitu Martin Luther dan John Calvin. Martin Luther bersikukuh bahwa tanpa militer mustahil perdamaian dapat dijaga. Ia meyakini perang harus dilakukan dalam kasus ketidakadilan dan memulihkan perdamaian yang terkoyak oleh kejahatan. John Calvin sebagaimana dituangkan dalam magnum opus-nya, “Institutes of the Christian Religion” juga sepakat bahwa pemerintah memiliki hak untuk mempertahankan perdamaian pemerintahannya dengan mengandalkan persenjataan dan perang.

Walaupun diizinkan, perang tidak dapat serta merta dilakukan seenak perut orang yang menginginkannya. Thomas Aquinas, teolog besar dari abad 12 memberikan beberapa pedoman pelaksanaan perang suci. Pertama, perang yang benar harus disetujui oleh pihak yang berotoritas yakni pemerintah yang sah. Kedua, perang dapat dilakukan hanya atas dasar alasan yang benar. Ketiga, perang harus dilakukan dengan maksud yang baik untuk mencapai kebaikan dan menghindari kejahatan yang lebih besar.

PASIFISME VERSUS JUST WAR THEORY DALAM SEJARAH GEREJA

Kendati tradisi pasifisme dipegang oleh gereja mula-mula, harus diakui ada beberapa fakta yang menunjukkan keterlibatan orang Kristen dalam aktivitas militer kekaisaran Romawi. Keterlibatan orang Kristen dalam kemiliteran kekaisaran Romawi semakin memuncak pada abad keempat, yakni ketika Kaisar Konstantinus bertobat menjadi Kristen dan kekristenan menjadi agama nasional. Apalagi pada waktu itu sedang ada serangan dari suku Barbar sehingga orang Kristen tidak dapat lagi menikmati keamanan hanya dengan berpangku tangan. Sementara itu, dukungan bagi orang Kristen untuk terlibat dalam perang juga didengungkan oleh bapa gereja kala itu, Agustinus, sehingga secara teoritis dimungkinkan untuk menjadi seorang Kristen sekaligus prajurit.

Permulaan abad pertengahan diwarnai oleh pandangan pasifisme. Kala itu, menjadi ksatria bukanlah posisi yang istimewa karena pasifisme merupakan pandangan yang dominan. Akan tetapi memasuki abad 11, gereja mengambil sikap yang lebih terbuka terhadap perang yang pada akhirnya berujung pada Perang Salib. Pada 1095 di Council of Claremont, Paus Urban II mendorong umat Kristen untuk menyetujui rencana perang demi membebaskan Timur Tengah dari kekuasaan orang-orang kafir Turki. Di dalam khotbahnya, orang-orang Turki itu dituduh telah melecehkan dan menodai keristenan serta memperkosa para wanita Kristen. Paus Urban II menjanjikan pengampunan dosa bagi mereka yang meresponi panggilan perang suci dari gereja. Dengan demikian, pasifisme ditinggalkan dan just war theory menjadi populer.

Pada era Renaissance dan Reformasi, kerajaan-kerajaan di Eropa terbagi-bagi ke dalam dinasti-dinasti monarki yang memunculkan persaingan di antara raja-raja. Alhasil, perang tidak dapat dihindarkan. Bila perang-perang di abad pertengahan adalah antara kekristenan melawan orang kafir, maka pada masa ini peperangan terjadi di antara negara Kristen. Peperangan sesama Kristen ini meresahkan banyak teolog, salah satunya Erasmus yang menegaskan bahwa tidak ada hal lain yang lebih bertentangan dengan ajaran Kristus selain perang. Di masa ini terjadi kebangkitan kelompok-kelompok pasifis yang menentang perang, seperti Kelompok Persaudaraan Swiss, Anabaptis, Mennonite, dan the Quakers. Akan tetapi para reformator seperti Martin Luther dan John Calvin tetap yakin pada just war theory.

YANG MANAKAH YANG BENAR: PASIFISME ATAU JUST WAR THEORY?

Dari pemaparan sejarah gereja di atas, tampak kedua pandangan terhadap perang ini muncul silih berganti dan tak jarang berselisih secara tajam. Yang manakah yang benar? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memperhatikan setidaknya dua isu utama pertikaian antara kubu pasifisme dan kubu just war theory. Pertama, apakah kaitan antara hukum moral dalam PL dan PB? Apakah benar hukum kasih dalam PB telah membatalkan hukum perang dalam PL? Kedua, Apakah hubungan antara kasih dan keadilan, khususnya dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa ini? Pasifisme menekankan kasih secara mutlak sedangkan penganut just war theory mengangkat isu keadilan sebagai pelengkap aspek kasih.

Isu pertama harus dipahami dari Matius 5:17-20. Di dalam perikop tersebut, Tuhan Yesus menyatakan tiga sikap-Nya (dari sudut pandang PB) terhadap hukum PL. Pertama, di ayat 17 Ia menyatakan bahwa kedatangan-Nya bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi, melainkan untuk menggenapinya. Jadi ajaran Yesus tidak menggagalkan PL, namun menyingkapkan maksud Allah di dalam PL, termasuk dalam kasus hukum perang. Kedua, ayat 18 menegaskan bahwa selama belum lenyap langit dan bumi ini, tidak ada satu iota atau satu titik pun yang akan ditiadakan dari hukum Taurat. Artinya, kita tidak dapat berkata hukum tertentu telah dibatalkan oleh Allah dalam PB. Ketiga, ayat 19-20 mengindikasikan pentingnya hukum Taurat untuk mencapai hidup yang lebih tinggi (benar) daripada orang-orang Farisi. Artinya, mengajar dan melakukan hukum Taurat merupakan tempat yang terhormat dalam PB. Ketiga hal ini menjadi masalah besar buat pasifis bila menganggap prinsip moral dalam PL tidak berlaku lagi sebab dengan demikian ia harus membuang sebagian besar PL; sedangkan penganut just war theory tidak akan mengalami masalah dengan ini. Namun perlu dicamkan oleh penganut just war theory, konsep perang dalam PL sangat berbeda dengan perang-perang yang dialami oleh manusia sepanjang sejarah sehingga mereka tidak dapat serta merta menarik garis paralel antara perang di PL dengan perang masa kini. Pada hakikatnya, yang ditekankan oleh PL bukanlah ”perang” itu sendiri, melainkan sikap Allah terhadap dosa dan kejahatan. Lagipula, ada indikasi yang kuat dalam PB bahwa perang tetap merupakan sarana sosial untuk berurusan dengan dosa, ketidakadilan, dan kekacauan, yakni melalui pemerintah yang berasal dari Allah (Rm. 13:1-7) dan melalui kehadiran peran prajurit dalam komunitas orang percaya (Mat. 8:5-13; Luk. 3:12-14; Kis. 10:22).

Isu yang kedua berkaitan dengan hubungan antara keadilan dan kasih. Henry Stobb menegaskan adanya hubungan timbal balik antara kasih dan keadilan yang tidak mungkin dipisahkan. Kasih di dalam dunia yang telah rusak selalu menuntut keadilan. Masyarakat yang mengasihi adalah masyarakat yang dapat mewujudkan keadilan sosial, dan di lain pihak, keadilan sosial adalah sarana yang kondusif bagi pelaksanaan kasih. Hal ini didasarkan atas sikap Allah terhadap umat-Nya yang tidak hanya menekankan kasih semata, namun juga keadilan. Ia yang penuh kasih juga merupakan ”api” yang menghanguskan bagi mereka yang terus hidup dalam kefasikan (Ul. 4:24; Ibr. 12:29). Tidak boleh ada penekanan yang tidak seimbang pada salah satu aspek karakter Allah. Prinsip kasih dan keadilan ini memberi peluang bagi perang yang bisa dibenarkan, namun kompleksnya isu perang ini tetap merupakan isu yang tidak dapat digampangkan dan perlu dikaji secara serius. Kompleksitas ini juga diperparah dengan fakta bahwa walaupun motivasi perang sudah benar, namun pada praktiknya ada banyak pelanggaran yang dilakukan bahkan oleh orang-orang Kristen karena natur kemanusiaannya yang berdosa. Tambahan pula, pada zaman perang nuklir seperti ini, sulit untuk melakukan just war karena tidak ada batasan lagi dalam target pemusnahan massal.

JADI BAGAIMANA?

Dari pembahasan di atas, tampaknya posisi just war theory lebih dapat diterima. Namun ini tidak berarti pasifisme perlu dipertentangkan dengan just war theory. Penganut pasifisme dan just war theory sama-sama merupakan kelompok yang berangkat dari asumsi perdamaian secara aktif. Pasifisme, sama seperti just war theory, bukanlah posisi pasif, namun justru dengan aktif memperjuangkan perdamaian. Bedanya, pasifisme bertindak secara ideal menurut hukum moral dalam Khotbah di Bukit, sedangkan just war theory mencoba hidup realistis dalam dunia yang telah rusak dengan menyadari adanya paradoks antara yang ideal (yang belum digenapi secara penuh di masa kini) dan yang realistis (yakni bahwa dunia telah berdosa dan belum dipulihkan secara utuh). Sambil menunggu penggenapan dunia yang sempurna lewat kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali, marilah kita mengingat peringatan rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, ”Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” (Rm. 12:18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar