Minggu, 17 Oktober 2010

Dan Tembok pun Runtuh Berserakan


Alasan mengapa bekas negara-negara Komunis begitu cepat membuka pintu mereka pada kekristenan setelah keruntuhan Marxisme bisa ditelusuri pada kesaksian orang-orang Kristen yang tetap setia pada panggilan mereka. Mereka juga merupakan bagian dari kisah-kisah yang belum terungkap.

Di Jerman Timur, satu dari sedikit negara Eropa Timur dengan penduduk mayoritas Protestan, selama empat puluh tahun gereja mencari cara untuk melayani “kota Allah” sementara hidup di “kota dunia” yang secara resmi ateis. Karena banyak jalur (seperti televisi dan radio) tertutup, sejak awal gereja mengambil langkah komitmen untuk mengurus anggota-anggota masyarakat yang paling menderita, terutama cacat parah. Dan mereka bertemu secara teratur untuk beribadah dan berdoa.."

Walaupun Yesus mengatakan bahwa “kerajaan itu ada di antara kamu,” sepanjang sejarah, gereja menghadapi godaan terus menerus untuk membentuk aliansi dengan pusat kekuasaan eksternal. Gereja AS menghadapi godaan yang persis demikian saat ini, dengan penekanan lebih pada politik daripada kerohanian. Namun di negara seperti Jerman Timur di bawah Komunisme, kemungkinan seperti itu tidak ada. Orang-orang kristen di sana tidak memiliki “basis kekuatan” seperti itu, sama sekali tidak ada, kecuali kekuatan kasih dan doa.

Namun terlepas dari segala rintangan, Saat untuk membuat suatu perubahan, akhirnya tiba di Blok Timur, gereja memimpin jalan dalam revolusi damai. Jerman Timur mengenang kembali tanggal 9 Oktober 1989 sebagai die Wende, “titik balik.” Peristiwa yang krusial terjadi, dengan cukup masuk akal, di Leipzig, sebuah kubu Reformasi di mana Luther berkhotbah pada abad keenam-belas dan Bach memainkan organ pada abad ke-delapan belas.

Selama tahun 1989, empat gereja Leipzig (termasuk gereja Bach, Thomaskirche) mengadakan persekutuan doa mingguan setiap Senin petang jam 5.00. Persekutuan doa itu sudah dimulai tujuh tahun sebelumnya, tahun 1982, ketika Pendeta Christian Fuehrer mengundang jemaatnya untuk berkumpul dan berdoa bagi perdamaian. Para pendeta menggunakan lagu rohani Lutheran kuno, berbicara pada jemaat dengan Alkitab di satu tangan dan surat kabar di tangan yang lainnya, dan memimpin doa bergilir. Dengan cara ini, mereka mencoba memberi arti dan harapan pada Jerman Timur yang terkepung. Mulanya, hanya beberapa orang Kristen yang hadir, paling banyak beberapa puluh.

Namun lambat laun, jemaat persekutuan doa ini mulai membengkak, bukan hanya menarik orang-orang Kristen yang setia, tetapi juga para pemberontak politik dan warga negara biasa. Gereja adalah satu-satunya tempat yang mendapat ijin kebebasan berkumpul dari pemerintah Komunis. Setelah setiap pertemuan, kelompok-kelompok ini bergabung dan berjalan di jalan-jalan gelap kota tua sambil memegang lilin dan spanduk—bentuk protes politik paling lunak. Bisa dikatakan setiap demonstrasi politik di seluruh negara ini dimulai dengan cara ini, dengan persekutuan.

Akhirnya, media berita dari Barat menangkap cerita ini. Merasa cemas, hirarki Komunis berdebat bagaimana caranya menghentikan barisan-barisan damai ini. Polisi-polisi rahasia mengepung gereja, kadang-kadang membubarkan barisan-barisan dengan kasar. Tetapi jumlah massa di Leipzig terus bertambah: ratusan, ribuan, kemudian mencapai 500.000.

Pastor Wonneberger dari gereja Saint Nikolai menermukan dirinya dalam peran tak terduga sebagai pemimpin de facto dari gerakan itu. Ia terus mengkhotbahkan perdamaian dan memberi nasihat-nasihat praktis tentang teknik anti kekerasan, bahkan tatkala polisi rahasia menelepon dengan ancaman mati dan memasang anggotanya untuk mengawasi di sekeliling gereja.

Tanggal 9 Oktober, hampir semua orang menduga tekanan politis mencapai jumlah massa kritis. Berlin Timur sedang merayakan ulang tahun negara Komunis yang ke-empat-puluh-sembilan dan memandang barisan massa di Leipzig sebagai provokasi. Polisi dan unit-unit militer bergerak besar-besaran ke Leipzig, dan pemimpin Jerman Timur, Erich Honecker memberi mereka instruksi untuk menembak para demonstran. Negara itu bersiap-siap untuk pengulangan adegan Lapangan Tiananmen. Uskup Lutheran Leipzig memperingatkan kemungkinan adanya pembantaian, rumah-rumah sakit mempersiapkan UGD mereka, dan gereja serta gedung-gedung konser setuju membuka pintu mereka, seandainya para demonstran membutuhkan tempat berlindung segera.

Ketika tiba waktunya untuk kebaktian doa di Gereja Nikolai, dua ribu anggota partai Komunis bergegas masuk untuk mengisi semua tempat duduk. Gereja kemudian membuka balkon-balkon yang jarang digunakan, dan seribu pengujuk rasa berkumpul di dalam. Christian Century melaporkan bahwa kebaktian itu sendiri merupakan titik balik: anggota-anggota Partai yang hadir dengan niat mengacaukan keadaan, untuk pertama kalinya menyadari bahwa gereja memang berusaha mengadakan perubahan damai.

Tidak seorang pun tahu pasti mengapa militer menahan tembakan malam itu. Egon Krenz, pengganti Honecker yang hanya menjabat sebentar, menerima pujian karena membatalkan perintah itu. Beberapa orang mengajukan teori bahwa Mikhail Gorbachev sendiri menelepon untuk memperingatkan Honecker. Lainnya percaya bahwa pasukan itu memang takut melihat banyaknya massa. Tetapi semua orang mengakui perjuangan doa di Leipzig-lah yang menyalakan proses perubahan bersejarah tersebut. Pada akhirnya, 70.000 orang berbaris dengan damai melewati pusat kota Leipzig. Senin berikutnya, 120.000 orang berbaris. Seminggu kemudian hadir 500.000 orang—hampir seluruh populasi Leipzig.

Pada awal November unjuk rasa terbesar terjadi, hampir satu juta orang berbaris damai menuju Berlin Barat. Eric Honecker mengundurkan diri, menanggung malu. Polisi menolak menembak para demonstran. Tengah malam tanggal 9 November, sesuatu yang tidak berani didoakan seorang pun akhirnya terjadi: sebuah celah terbuka di Tembok Berlin yang dibenci. Orang-orang Jerman Timur mengalir deras melewati pos-pos pemeriksaan, melewati penjaga yang selalu mematuhi perintah untuk “ menembak mati.” Tidak satu nyawa pun melayan saat kerumunan orang yang berbaris dengan lilin di tangan menggulingkan sebuah pemerintahan.

Seperti badai udara murni mengusir polusi, revolusi damai menyebar ke seluruh belahan dunia tersebut. Tahun 1989 saja sepuluh negara yang terdiri lebih dari setengah milyar penduduk—Polandia, Jerma Timur, Hungaria, Cekoslowakia, Bulgaria, Rumania, Albania, Yugoslavia, Mongolia, dan Uni Soviet—mengalami revolusi tanpa kekerasan.

Seperti yang ditulis Bud Bultman, seorang produser dan penulis CNN: “Kita dari media memandang dengan tercengang saat tembok-tembok totalitarianisme berguguran. Tetapi dalam ketergesaan untuk meliput peristiwa-peristiwa perubahan besar yang serba mendadak itu, kisah di balik kisah menjadi terabaikan. Kita menyorotkan kamera kita pada ratusan ribu orang yang berdoa untuk kebebasan dengan lilin menyala di tangan, namun kita melewatkan dimensi transedentalnya, karakter yang jelas-jelas rohani dan religius dalam kisah tersebut. Kita memandangnya di depan mata namun tidak dapat melihatnya”.

Namun beberapa orang dapat melihatnya. Orang-orang Jerman Timur masih membicarakan hari-hari itu sebagai keajaiban. “Apakah doa memang bisa memindahkan gunung atau tidak, yang jelas doa telah memobilisasi penduduk Leipzig,” lapor New Republic. “Mendengar mereka menyanyikan ‘Tuhan Benteng Kita yang Teguh’ sudah cukup untuk membuat Anda percaya.” Beberapa minggu setelah titik balik 9 Oktober spanduk besar muncul di sebuah jalan di Leipzig: Wir Danken Dir, Kirche (Kami berterima kasih padamu, gereja).

(Philip Yancey; Menemukan Tuhan di Tempat yang Tidak Terduga; Bab 25 Hlm 161-164)


by: AST


Tidak ada komentar:

Posting Komentar