Minggu, 19 Desember 2010

AKHIR SEBUAH KEHIDUPAN

Kejadian 5:9-24: “ Ketika Enos hidup sembilan puluh tahun, ia memperanakan Kenan. Dan Enos masih hidup delapan ratus lima belas tahun, setelah ia memperanakkan Kenan, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan. Jadi Enos mencapai umur sembilan ratus lima tahun, lalu ia mati. Setelah Kenan hidup tujuh puluh tahun, ia memperanakkan Mahalaleel. Dan Kenan masih hidup delapan ratus empat puluh tahun..... dst hingga ayat yang ke-16.

Membaca nas ini terasa membosankan. Bahkan walaupun hanya 16 ayat, namun terasa panjang. Mengapa? Karena isinya begitu-begitu saja, tidak bervariasi. Itulah sesungguhnya hidup manusia, isinya mengulang, kering, membosankan: lahir, beranak pinak dan mati. Tetapi ketika pembacaan kita sampai pada ayat 21 tentang Henokh, kita seakan bertemu air di padang gurun. Ia sama tetapi sekaligus berbeda dengan orang-orang lainnya. Ia memberitahukan kepada kita hal-hal hakiki tentang kehidupan.

BUKAN PANJANGNYA, TETAPI ISINYA

Hidup itu yang penting bukan panjangnya tetapi isinya. Henokh berumur paling pendek dibandingkan dengan yang lainnya, usianya hanya 1/3 rata-rata orang zaman itu. Ketika yang lain berumur 900 tahun, Henokh hanya berumur 365 tahun. Berarti Ia mati muda menurut ukuran orang-orang di zamannya. Tetapi Ia memiliki catatan hidup yang sangat berbeda dibandingkan dengan yang lain. Bukan karena Ia lebih sukses dan lebih kaya, tetapi karena hidup pergaulannya dengan Allah.

· Bergaul dengan Allah adalah makna hidup yang tertinggi seorang manusia. Pergaulan ini seharusnya telah terjadi pada saat kita masih hidup di dunia ini, bukan hanya setelah kita hidup bersama Allah dalam kekekalan saja.

· Bergaul dengan Allah adalah sebuah gaya hidup (a way of life), bukan hanya sekedar hidup di dalam hukum Tuhan, haram dan halal atau bersifat moral belaka. Ketika itu 10 hukum Allah bahkan belum diberikan.

· Bergaul dengan Allah adalah esensi seorang manusia karena bergaul dengan Allah berarti akrab dengan Pencipta—satu-satunya yang berwenang dan tepat menjelaskan siapa saya, mengapa saya ada di dunia ini, apakah tujuan hidup saya.

· Bergaul dengan Allah berarti mengarahkan hidup kepada Allah yang ada di luar dan lebih besar dari hidup kita sendiri. Mereka yang hidup untuk materi menjadikan hidupnya kecil dan rendah. Mereka yang hidup bagi diri sendiri menjadi picik, egois, dan merusak.

· Bergaul dengan Allah berarti hidup menjadi gambar-Nya, menjadi reflektor (pemancar) keindahan Allah: karakter-Nya, moral-Nya, dst.

· Hidup bergaul dengan Allah berarti juga berani hidup berbeda dengan zaman.

Hal ini tampak menonjol dalam diri Henokh maupun keturunannya, Nuh, yang dicatat sebagai ” Seorang yang benar & tidak bercela di antara orang-orang sezamannya.” (Kej 6:9). Yesus Kristus adalah contoh yang ideal tetang bagaimana hidup bermakna: bukan dari lamanya, tetapi dari isinya. Ia hanya berusia 33 tahun ketika Ia meninggalkan dunia ini. Seluruh hidup-Nya bernilai kekal karena dalam segala hal Ia selalu berhubungan erat dengan Bapa Sorgawi-Nya.

Kita sering merasa ”sayang” ketika seseorang mati muda. Tetapi kalau matinya sudah tua, kita merasa hal itu wajar-wajar saja. Jadi kita mengukur hidup berdasarkan panjangnya, dan bukan isinya. Tidak heran kita terus berusaha memperpanjang hidup. Kita menganggap bahwa hidup lebih lama berarti lebih bahagia dan lebih bermakna. Karena itu pada hari ulang tahun kita mengucapkan ”selamat panjang umur” bukan ”selamat hidup makin bermakna”. Kita takut berumur pendek, tetapi tidak takut hidup tidak bermakna.

Berapa pun panjangnya hidup kita, tetapi suatu hari hidup kita di dunia pasti berakhir juga. Orang-orang yang disebutkan di dalam Alkitab ini semuanya mempunyai umur yang panjang, tetapi bukan hidup yang kekal. Panjang umur bisa juga berarti kesengsaraan bagi kita atau bagi orang-orang di sekeliling kita. Karena itulah lebih baik kita memiliki hidup yang berarti walaupun tidak berumur panjang.

Selain itu, pada orang-orang yang berusia lanjut seringkali muncul perasaan-perasaan yang sudah umum dialami oleh orang-orang sebayanya yaitu perasaan diri tidak berguna. Semakin ia berusaha menunjukkan bahwa ia berguna, semakin banyak masalah yang ditimbulkannya. Seringkali juga muncul perasaan bersalah dan menyesal atas kesalahan-kesalahan di masa lalu, serta perasaan takut kesepian, takut sakit, takut mati, dst.

Kecenderungan kita untuk memeperhatikan hidup dari sudut waktu bukanlah tidak penting. Musa dalam Mzm 90:12a mengatakan: ”Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian...” Bagi kita menghitung hari adalah seperti ini: Sewaktu masih anak-anak, kita ingin sekali cepat-cepat tambah usia supaya dapat merayakan ulang tahun. Tahun terasa lama karena waktu dihitung dengan tahun sebagai ukurannya. Sampai dengan SMA atau kuliah, waktu mulai dihitung dengan semester. Ketika mulai bekerja, waktu mulai dihitung dengan bulan sebagai ukurannya, karena kita ingin cepat mendapat gaji. Memasuki usia tua, ukuran waktu yang dipakai pun akan menjadi lebih pendek dari mingguan sampai harian atau bahkan jam demi jam. Sewaktu anak-anak, umur kita hitung dengan penambahan. Semakin tua, perhitungan umur adalah pengurangan, ”tinggal sisa berapa lama lagi ya?”

Cara menghitung di atas sudah baik. Tetapi sebenarnya doa Musa masih ada kelanjutannya, yang menjelaskan maksud tujuan menghitung hari. Waktu dihitung bukan untuk mengetahui penjang pendeknya, tetapi agar ”kami beroleh hati yang bijaksana”. Maksudnya adalah bagaimana menjadikan waktu itu bermakna dalam hubungannya dengan Allah (bacalah ayat 13-17)

BUKAN DEPANNYA TETAPI BELAKANGNYA

Perhatikan nas di awal tersebut. Orang-orang yang hidupnya hampir seribu tahun, jika hidupnya dijadikan buku, entah berapa jilid banyaknya, tetapi hanya diringkas oleh Alkitab dalam 3 ayat pendek. Jika kita diminta menulis hidup kita sendiri seringkas-ringkasnya-tidak boleh lebih dari 3 ayat—bagaimana kita akan menuliskannya? Tentu kita harus memilih dan mencantumkan hal-hal apa saja yang terpenting bagi kita: nama, tanggal lahir & mati, siapa yang kita tinggalkan, dst.

Ringkasan ini kita kenal dengan sebutan ”obituari”. Orang tidak mencatat dalam obituarinya: harta, perusahaan, PT, CV, uang dolar, deposito, pendidikan, gelar, dst. Catatan itu meliputi kelahiran & kematian. Ini dua peristiwa paling penting dalam kehidupan kita. Tidak ada sejarah apapun yang kita ukir, tidak ada apa pun yag hari ini kita miliki. Kematian mencabut kita dari semua atribut yang kita miliki (misalnya, hartaku, mobilku, anakku, istriku, gelarku, bahkan tubuhku). Karena kematian ada di belakang kita, maka kita dapat berbuat sesuatu untuk memberi arti baginya. Kita berperan penuh dalam memberinya makna.

Menulis obituari ini penting karena hal itu dapat berfungsi sebagai panduan, sebagai visi atau gambaran besar mengenai bagaimana atau akan menjadi seperti apakah hidup yang kita kehendaki jika semuanya berjalan sesuai rencana. Dengan demikian, jika hidup kita sekarang belum cocok dengan apa yang kita inginkan kelak tercatat di obituari kita, maka ubahlah itu sekarang juga.

Tuhan Yesus melihat gambaran besar hidup-Nya sebagai ”mati bagi orang banyak”, dan ke sanalah Ia mengarahkan seluruh aktivitas hidupnya. Ia mengatakan ”sudah selesai” ketika visi itu dicapai-Nya. Apa yang tertulis di obituari adalah sasaran pusat hidup kita, bukan sekedar sasaran biasa. Menulis obituari berarti juga melihat hidup dari ”akhirnya”, bukan dari depan/ awalnya. Kita menggambarkan kelahiran sebagai bagian depan atau pintu masuk, sedangkan kematian sebagai pintu belakang atau akhir. Hidup harus dilihat bukan dari depan atau tengahnya, tetapi akhirnya. Seperti kita membaca cerita seri yang rumit, kita sering langsung saja melihat ke bagian akhirnya, karena ”akhir” menyingkapkan segala sesuatu dan memberi makna bagi apa yang ada, baik yang di depan maupun yang di tengahnya. Tanpa melihat dari pintu belakang, maka kita akan mengorientasikan pandangan hidup pada hal-hal sementara dan pemuasan hawa nafsu belaka, yang kelak ketika dilihat dari akhirnya merupakan kesia-siaan yang menyedihkan dan mengakibatkan penyesalan kekal.

Pada tahun 1923, suatu pertemuan penting diadakan di Hotel Pantai Edgewater di Chicago. Yang hadir adalah delapan orang raksasa dalam bidang keuangan yang terkuat di dunia.

  1. Presiden dari perusahaan baja terbesar
  2. Presiden dari perusahaan gas terbesar
  3. Spekulan gandum terbesar
  4. Presiden dari Bursa Saham New York
  5. Anggota kabinet presiden Amerika
  6. “Beruang” terbesar Wall Street
  7. Kepala dari monopoli terbesar di dunia
  8. Presiden Bank of International Settlements

Dari sudut pandang apapun, pria-pria ini telah mencapai sukses. Mereka telah menemukan rahasia untuk mendapatkan uang. Ketika mereka meninggalkan hotel tersebut, kehidupan mereka berbelok ke arah yang lain. Apa yang terjadi dengan mereka? Dua puluh lima tahun kemudian,

  1. Presiden dari perusahaan independen terbesar, Charles Schwab, mati dalam keadaan bangkrut, setelah hidup dengan hutang selama lima tahun terakhir sebelum kematiannya.
  2. Presiden dari perusahaan gas terbesar, Howard Hopson menjadi gila.
  3. Spekulan gandum terbesar, Arthur Cotton, meninggal di luar negeri, dalam keadaan bangkrut.
  4. Presiden dari bursa saham New York, Richard Whitney, masuk penjara Sing-Sing.
  5. Anggota kabinet presiden, Albert Fall, dibebaskan dari penjara agar ia bisa mati di rumah.
  6. “Beruang” terbesar Wall Street, Jesse Livermore, mati bunuh diri.
  7. Kepala monopoli terbesar, Ivan Krueger, mati bunuh diri.
  8. Presiden dari Bank Penyelesaian-penyelesaian International, Leon Fraser, mati bunuh diri.

Seandainya mereka bisa dan mau melihat hidup dari pintu belakang, dari bagian akhir, akan samakah cara mereka hidup? Melihat dari bagian belakang tentu jangan sebatas akhir di dunia karena itu belum akhir yang terakhir. Akhir yang paling akhir berada dalam kekekalan.

Dari sudut pandang manusia, kita tidak mampu melihat hidup dari akhirnya, namun Allah mampu. Maka bila kita hidup dalam firman-Nya, kita akan melihat dari perspektif Allah. Obituari adalah mega proyek hidup kita bersama. Seorang suami akan mendukung istri untuk mencapainya, begitu pula sebaliknya. Orang tua akan mendukung anaknya untuk mencapainya, begitu pula sebaliknya. Saling mendukung juga perlu terjadi dalam komunitas orang percaya sebagi tubuh Kristus. Keberhasilan seorang istri, suami, orang tua, anak, gereja harus diukur dari poin ini.

Ada baiknya perenungan kita ini ditutup dengan menjawab 4 pertanyaan besar berikut ini:

  1. Bayangkan Anda berdiri di pekuburan, melihat batu nisan Anda sendiri. Sekarang tuliskan ukiran yang Anda ingin tertera di sana. Mulailah dengan kata-kata: ” Di sini terbaring......”
  2. Tuliskan berita kematian Anda sendiri (tak perlu singkat). Penilaian yang seperti apa yang Anda harapkan dari orang-orang tentang hidup Anda
  3. Warisan apa yang ingin Anda tinggalkan saat Anda meninggal
  4. Sekarang Anda sudah siap menulis pernyataan misi hidup Anda. Apa tujuan akhir hidup Anda? Apa maknanya? Apa perjuangan Anda yang paling besar?

Kiranya firman-Nya menerangi hidup kita.

(sumber: Yohan Candawasa- Menapaki Hari Bersama Allah; Bab 1: Akhir Sebuah Kehidupan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar