Jumat, 30 Oktober 2009

MEMANDANG KE ANGKASA


Belakangan ini saya banyak berpikir tentang alam semesta dan seluruh jagad raya. Setelah membaca beberapa prosa melankolis Chet Raymo (Starry Nights, The Soul of the Night), saya mulai menjulurkan kepala saya ke atas dalam berbagai sudut ganjil setiap saya menemukan langit gelap. Namun karena saya tinggal di Chicago, pada umumnya yang saya lihat adalah bulan, Venus, dan jalur penerbangan ke Bandara O’Hare, dan harus percaya saja pada ucapan Raymo tentang apa yang ada di angkasa sana.

Mempelajari alam semesta tidak banyak gunanya untuk meningkatkan harga diri di bumi. Matahari kita yang cukup kuat untuk membuat kulit putih menjadi berwarna tembaga dan membujuk oksigen keluar dari setiap tumbuhan di bumi, peringkatnya relatif rendah dalam standar galaktika. Kalau bintang raksasa Antares berada di tempat matahari kita --93 mil dari bumi-- bumi akan berada di dalamnya! Dan matahari kita dan Antares hanya mewakili dua dari 500 milyar bintang yang berenang di angkasa luas dan sunyi Bima Sakti. Uang logam sepuluh sen yang dipegang dengan tangan terulur lurus di depan mata akan menutupi 15 juta bintang dari pandangan, kalau mata kita melihat dengan kekuatan seperti itu.

Dari belahan bumi utara, hanya ada satu galaksi lain, Andromeda, yang cukup besar dan cukup dekat ( hanya 2 juta tahun cahaya) yang bisa terlihat dengan mata telanjang. Andromeda sudah muncul dalam peta bintang jauh sebelum ditemukannya teleskop, dan sampai belum terlalu lama ini, tidak ada seorangpun tahu bahwa gumpalan cahaya kecil itu menandai keberadaan galaksi lain yang ukurannya dua kali Bima Sakti dan menjadi rumah bagi setengah trilyun bintang. Atau bahwa tetangga sebelah rumah itu hanyalah dua dari 100 milyar galaksi serupa yang dipenuhi bintang.

Salah satu alasan mengapa langit malam gelap, terlepas dari keberadaan begitu banyak benda-benda langit yang bercahaya, adalah karena galaksi-galaksi saling menjauhi dengan kecepatan yang mencengangkan. Besok beberapa galaksi akan berada 30 juta mil lebih jauh dari kita. Selama waktu yang diperlukan untuk mengetik kalimat ini, mereka mundur 5000 mil lagi.

Kemajuan manusia hampir bisa ditandai dengan melihat minat mereka dalam mengamati bintang. Setiap peradaban masa lalu --Inca, Moghul, China, Mesir, Yunani, Eropa Reinaissance-- membuat terobosan besar dalam astronomi. Ada ironi yang bekerja dalam sejarah manusia: Satu demi satu peradaban mendapat kapasitas untuk memahami betapa kecilnya diri mereka itu, kemudian gagal menyadari hal itu dan menghilang.

Bagaimana dengan kita, kita yang meluncurkan pesawat antariksa Viking dan Apollo, kita yang membuat observatorium Hubble yang mengorbit bumi dan teleskop-teleskop radio raksasa Very Large Array berjajar sepanjang 39 mil di gurun Mexico? Apakah prestasi kita membuat kita lebih rendah hati atau kurang? Lebih menyembah Tuhan atau kurang?

Chet Raymo yang tidur pada siang hari dan memandangi langit pada malam hari, hidup dengan perasaan takjub terus menerus, sebuah produk sampingan dari pekerjaan mengamati alam semesta. Ia menggambarkan bagaimana galaksi-galaksi yang memuai menunjuk balik pada Ledakan Besar penciptaan (Big Bang), dimana semua materi alam semesta menjadi ada dalam ledakan raksasa yang berlangsung satu detik. Ia mengakui benar-benar tidak terbayangkan kecilnya kemungkinan hal yang baik bisa muncul dari ledakan seperti itu.


”Jika satu detik setelah Ledakan Besar, rasio antara densitas alam semesta dengan tingkat pemuaiannya berbeda satu per 1015 saja dari nilai yang diperkirakan saat ini, maka alam semesta akan segera runtuh sendiri atau mengembang begitu cepat sampai galaksi dan bintang-bintang tidak bisa memadat dari materi awalnya.... Jika semua butiran pasir di seluruh pantai di dunia dianggap sebagai alam semesta—dan hanya satu dari butir-butir pasir itu yang memungkinkan untuk keberadaan makhluk cerdas, maka satu butir pasir itu adalah alam semesta yang kita huni.”

Dalam bukunya yang berjudul Alone, Richard Byrd menggambarkan kesendirian singkatnya selama 6 bulan di Antartika, dekat Kutub Selatan di mana ia menyaksikan berbagai hal di langit—seperti fenomena refraksi yang meluncurkan barisan warna menembus inti matahari- yang tidak bisa dilihat oleh siapapun di tempat lain di bumi. Setelah berjalan-jalan di pagi yang dingin (dengan suhu berada dibawah 890C dan malam selama 24 jam), Byrd duduk dan menulis tentang apa yang ia lihat saat memandangi bintang dalam sekian banyak acara jalan-jalan seperti itu.

Keyakinan datang bahwa irama ini terlalu teratur, terlalu harmonis, terlalu sempurna untuk hanya sebuah kebetulan- jadi, karena itulah, maka seharusnya pasti ada tujuan dalam keseluruhan ini, bahwa manusia adalah bagian dari keseluruhan itu dan bukan cabang yang muncul secara sengaja. Itu adalah perasaan yang melampaui rasio; yang menembus ke dalam pusat keputus-asaan manusia dan menemukannya tidak berdasar. Alam semesta adalah kosmos, bukan chaos; manusia adalah bagian dari kosmos itu, seperti juga siang dan malam”.

Diperlukan usaha besar dan iman yang tidak kecil untuk mempertahankan Gambar Besar di pikiran. Dalam beberapa hal, alam semesta membuat saya merasa benar-benar tidak berarti, tetapi dalam beberapa hal, membuat saya merasa memiliki arti abadi. Jika Tuhan yang merekayasa ciptaan dengan ketepatan sedemikian, mengaku menaruh lebih dari setitik minat pada apa yang terjadi dalam planet sebesar debu kecil ini, paling sedikit yang bisa saya lakukan adalah lebih sering menjauhi lampu-lampu jalanan dan memandang ke atas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar